Sabtu, 02 Februari 2019

perjodohan jalan Allah #1

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatu..

Alhamdulillah, dikesempatan kali ini saya masih diberi kesehatan untuk sedikit berbagi pengalaman hidup saya.
Saat itu tahun 2014 usia saya baru menginjak 17 tahun, seorang gadis belia yg masih mencati jatidiri, masih belum memikirkan tujuan hidup, masih asik dengan kehidupan yg dijalani saat itu, kumpul dengan sahabat, bahkan saya sedang merasakan jatuh cinta saat itu, pada saat itu usia kami berbeda 8 tahun. Kami menjalin hubungan sudah 6 bulan, masih sangat singkat memang. Saya sangat menikmati masa muda saya, tiada sedih yg terlintas di hati saya saat itu.. saya anak tunggal, otomatis semua kasih sayang orangtua saya hanya diberikan kepada saya. Bersyukur saya Allah memberi keluarga dan sahabag yg begitu menyayangi saya..

Pada akhir tahun 2013, gadis belia polos ini harus menghadapi suatu situasi yg dia sendiri ga mengerti apa itu semua.. hanya mendengar saran sana sini tapi tidak diresapi, saya bak boneka orang terdekat saya yg menuruti apa kata mereka.. tidak ada pendirian saat itu, yg saya ucap hanya “iya, yaudah, terserah mama aja” subhanallah kalau difikir sekarang begitu bodohnya saya, ya. Saya “dijodohkan” oleh pemuda yg tidak saya kenal. Tapi kita masih saudara, langsung 3 bulan kami taaruf saya pun dilamar saya tau karakter dia saat itu tapi saya ga mikir panjang saat itu. Saya ga pernah cerita apapun ke orangtua saya tentang dia selama kami berkenalan 3 bulan. Saya pendam semua sendiri, akhirnya kami menentukan tanggal pernikahan.

Pacar saya saat itu dia sudah menyerahkan semua pada saya. Begitu kecewa nya saya, kenapa dia ga berusaha untuk mengajak saya pergi atau dia bicara dengan orangtua saya.. entah apa yg terlintas dibenak dia saat itu. Akhirnya saya memutuskan hubungan kami. Selama 3 bulan taaruf dgn suami, saya jarang komunikasi dengan kekasih saya. Dia memberi saya waktu untuk bisa menilai siapa yg lebih pantas bersanding dengan saya tapi tanpa dia sadar saya menunggu dia untuk melakukan tindakan untuk melepas saya dari situasi ini.. harapan saya pada kekasih saya sirna sudah, saya tidak menemukan sosok lelaki yg punya pendirian dalam diri dia. Saya tidak merasa diperjuangkan.

Setelah lamaran kami dilangsungkan, kami menetapkan tanggal pernikahan hanya berjarak 1 bulan.. dibilang kaget, iya. Karna sebetulnya saya ingin menyelesaikan studi saya. Tapi apa daya, keluarga suami yg memaksa saya harus meninggalkan sekolah, lagi lagi saya begitu
 bodoh dengan meng iyakan itu semua.. memang mereka dari keluarga berada, sangat berbanding terbalik dengan saya pastinya.. orangtua saya juga merasa bimbang sebenarnya, tapi karna keluarga saya tau akhlak dari keluarga suami saya yg baik jadi keluarga saya tidak bisa menolak.

Kami menikah di pertengahan tahun 2014, tidak ada perasaan nervous atau panas dingin selayaknya calon pengantin lain nya. Lagi lagi karna pola fikir saya yg masih labil alasannya..

Hari demi hari saya lewati dengan lelaki yg sudah menjadi suami saya yg saya tidak mengenal betul tentang dia, yg saya terima saat itu hanya perilaku dia yg terlalu overprotektif, jika emosi membeludak dia acapkali kasar pada saya, saya fikir saat awal pernikahan kami “nanti juga berubah” dsb. Tapi memang betul, setelah anak pertama kami lahir dia semakin sayang pada saya, dari segi ekonomi saya sangat tercukupi dgn dia.. dia memperlakukan saya bak ratu dirumahnya, saya merasa beruntung saat itu terlebih keluarga dia yg baik pada saya, saya seakan ga ingin mencari kebahagiaan lain..
setelah anak ke 2 saya lahir di pernikahan kami yg menginjak 4 tahun, perubahan sikap dia mulai terasa dalam diri saya dia semakin sibuk, bertatap wajah dirumah pun sudah jarang, kami sudah tidak banyak sharing, dia sudah tidak memerlukan pendapat dari saya lagi, entah kesalahan apa yg sudah saya perbuat. Dia semakin kasar, semakin bertingkah buruk pada saya, alhamdulillah dia ga pernah main tangan pada saya, tapi hinaan dan cacian yg seringkali dia ucapkan pada saya membuat saya merasa tidak punya harga diri sebagai seorang istri. Sebelum perubahan dia terjadi, saya masih melayani dia dgn baik, saya pun sering merawat diri, saya diet untuk menjaga kestabilan tubuh saya.

Setiap cacian itu terlontar kembali dari mulut suami saya, saya hanya bisa menahan diri untuk tidak menjawab saya menahan agar tidak menangis di depan dia, saya ga bisa memperlihatkan kesedihan saya di depan anak anak dan orangtua saya.. entah gimana jalan fikiran saya, saya selalu mau mereka melihat kebahagiaan saya tanpa tau yg sebenarnya. Hidup saya bak dineraka, saya nafas tapi saya tidak hidup. Saya melihat banyak orang tapi hati saya selalu merasa keheningan dan keheningan, hanya anak anak dan keluarga yg membuat saya bertahan sampai saat ini..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar